Selasa, 28 Februari 2012

Cerita Mengharukan (kisah seorang kakak dan adik) .

Sebuah Kisah untuk kita renungkan dan jadikan motivasi.

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”

Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita

Sabtu, 25 Februari 2012

Rindu Itu

Rindu itu... disertai rasa malu.
Malu mau mulai SMS duluan. Malu mau telepon duluan. Tapi... ngarep.

Rindu itu... bikin aku kepo.


Ngecek-ngecek timeline twitter-kamu, liat dinding facebook-kamu. Berharap ada status/ tweet yg ada sangkut pautnya tentang aku.

Rindu itu... bikin curiga melulu.
Kalo ada yang komen di status kamu, atau mention di twitter kamu. Aku buru-buru lacak orang tersebut dan pengin tahu 'siapa orang itu?', 'sedeket apa orang itu dengan kamu?' 
Rindu itu... kalo lagi denger lagu, langsung inget kamu.
Berasa itu lagu kita. Dada langsung nyesek karena perasaan.
Rindu itu... inget tempat-tempat yang pernah didatengin berdua.
Nggak bakal lupa selamanya. Kadang, sengaja lewat tempat itu lagi buat nostalgia.
Rindu itu... waktu aku nonton bola, kamu juga.
Terus, kamu malah ngomongin pemain bola yang unyu-unyu melulu. Gregetan!!!
Rindu itu... berharap kamu merasakan hal yang sama.
Rindu itu... kalo kita saling mengerti.
Nggak ada hal terbaik yang kita punya selain perasaan masing-masing.
Rindu itu... kalo cuma kamu yang bisa menuhin perasaan galau ini.
Rindu itu... aku cuma butuh kamu disini, bukan yang lain.
Rindu itu... aku memberi ruang di sebelahku untuk kamu.
Duduk, dan tinggalah disini sampai aku nggak merasa kehilangan lagi.
Rindu itu... sejak ada kamu, segalanya jadi lengkap.
Rindu itu... KAMU SAJA. SEKIAN.
 
 
(  http://robinbieblogwijaya.blogspot.com )

Rabu, 22 Februari 2012

foryou-

I just wanna say Ilysm :*
Please don't leave me .
I've always been you ^_^

Tugas Bahasa Inggris --> Punyo aku :D

KABAYAN DRINKING HOT COFFEE
One day, kabayan and iteung go a coffee shop on the edge pesawahan. Because he looks weak so iteung also suggested Kabayan to drink coffee. Kabayan swiftly respond to "LIVE! ga akang dosn't have money". iteung was ignoring complaints. and iteung asked seller :
" Mr, how much coffee?".
seller replied "hot coffee in 2000 if winter 5000"
"Fine indeed a message 1".
not long before coffee was finished and handed directly to the front of Kabayan. Kabayan alacrity and gusto with direct spending so that the new coffee (yes definitely temperatures around 90 degrees C). iteung was confused and asked.
"Akang! what the hell, it's still hot coffee to drink straight on "
"Because if already cold so 5000 singing!

cerita ini adalah cerita singkat dan lucu.Bapak dan Ibu Guru serta adik-adik pelajar SDN Sawahlega bisa melihat secara langsung di www.sopian72.com dengan mengklik entri people action's!

KABAYAN MINUM KOPI PANAS
Suatu hari kabayan pergi bersama nyi iteung ke suatu warung kopi di pinggir pesawahan . Karena kabayan kelelahan maka nyi iteung pun menyarankan kabayan untuk meminum kopi . dengan sigap kabayan merespon “NGGA ! akang ga punya duit nya nyi” . nyi iteung pun tak menghiraukan keluhan kabayan . dan nyi iteung pun bertanya .
“kopi nya berapaan bang?” .
mang warung pun menjawab “kopi panas 2000 kalo dingin 5000″
“Ya udah mang pesen 1″ .
tak lama kemudian kopi pun selesai dan langsung di sodorkan ke depan kabayan . dengan sigap dan lahap kabayan langsung menghabiskan kopi yang baru jadi itu (ya suhu pasti sekitar 90 drajat C) . nyi iteung pun bingung dan bertanya .
“akang!! apa-apaan sih, itu kopi masih panas langsung minum aja”
“karna kalo udah dingin jadi 5000 nyi !!!

(digubah dari:http://www.arusty.com/humor-2011-terbaru-cerita-lucu-unik-ketawa-ngakak.html)

Sabtu, 18 Februari 2012

Nine Ways to Keep Moving Forward in Life

Around here we don’t look backwards for very long. We keep moving forward, opening up new doors and doing new things. – Walt Disney
Article written by Alex Blackwell. Connect with me on Facebook.
Life can hit hard. Sometimes you get knocked down when you don’t even see it coming. Some are cheap shots, some are glancing blows and some can bring you to your knees. When this happens, it’s not about how hard you get hit; it’s about how hard you can get hit, but still find the strength to keep moving forward. It’s about having the will to continue in spite of the obstacles.
It is interesting where inspiration can be found at times. Our son, Andrew, bought the Rocky Series not long ago. This DVD set contains all six Rocky movies. Recently, I had an opportunity to watch the last movie in the series, Rocky Balboa, with my son. The movie contains a very poignant scene between Rocky and his son. The message Rocky delivers is one of hope, courage and determination when life hits hard:

ROCKY BALBOA: IT AIN´T ABOUT HOW HARD YOU HIT …For more funny videos, click here
This scene is a great reminder that character is not defined by what happens to you, but rather by how you react to what happens to you. When you get hit, do you stay down? Or do you reach down somewhere deep inside of you and pull up the courage that lifts you back on your feet to keep moving forward? You do have a choice. Consider these Nine Ways to Keep Moving Forward when you are faced with this choice again.

Forget Regret
Leave your mistakes and regret in the past. They don’t define your value, then or now. When you stay in the past you become stuck and unable to move forward. We all have made mistakes with our job choices, friends and relationships. The consequences can hit us pretty hard. However, to begin learning how to put these experiences behind us – by letting them go, we can begin to live in the here and now. Give yourself the gift of forgiveness and keep moving forward.
Learn from Failure
Learning from failure and having regret are two separate things. Regret is an emotion; a feeling of disappointment along with a modest amount of shame or guilt. But to look back at a circumstance and figure out what went wrong gives you some very important information. This review allows you to evaluate what worked and what didn’t, and more importantly, why. Often when you are removed from a situation, you can look at it more objectively which will allow you to make better choices to keep moving forward.

Ask for Help
You are not alone. It may feel that way sometimes, but there are many people who would extend their hand and lift you up if asked. All you have to do is ask. Consider co-workers, neighbors, or your church. Often times we are afraid to ask because we don’t believe we are worthy to receive the help. Think about this: we are surrounded by millions and millions of people by design – for a purpose. A hand to grasp, a shoulder to cling, and a face to radiate hope can help you to keep moving forward.

Believe You are Worthy
Whatever your goal, your dream, or your desire, you are worthy of achieving it. The closer you get to it is when the enemy of you soul will begin putting doubt in your mind by playing the self-limiting tapes that say you are not worthy. Replace these old tapes with a newer one that contains the truth – you are worthy to have your heart’s true desire and to keep moving forward.


Take 100% Responsibility
Except in rare and unfortunate circumstances, you are responsible for the quality and condition of your life. Your career, your relationships and your happiness are all under your direct control. Sometimes we choose to do nothing when we get hit hard because it’s just easier and less painful that way. But the real pain is only deferred. You have to live with yourself. You have to live with the voice in your gut, your inner wisdom, that says you gave up too soon or didn’t try hard enough. When you hear this inner voice speaking to you, it’s usually right. It’s your choice, then, to get up and keep moving forward.

Know What You Want
This isn’t about the how, only the what. In order to move forward in life, you need a firm foundation to step from. Understanding what and where you want to go in life will provide your vision and spirit – your foundation. The how will figure itself out when you know you want to keep moving forward.

Trust
There are no accidents without value. When you get hit hard and land on your back, look for the reasons and for the value in this. Open your heart and trust this happened for a reason. Perhaps it was to test your determination or to alert you to the fact you were on the wrong path. Either way, trust the experience is happening for a reason and be open to making adjustments in order to keep moving forward.
Want it More
How badly do you want it? How badly do you really want to achieve what you are working so hard to accomplish? When you get hit hard, you have an opportunity to answer this question. It’s one thing to say you want to do something, or to be something. But to walk through the pain; to get up and keep moving forward knowing there may be more pain ahead, is a test of your determination and resolve. When you find yourself getting back on your feet, you have indeed answered this question and there’s no doubt you will keep moving forward.

Keep the Faith
Faith: A strong belief in something without proof or evidence
At the end of the day when you are weary from all of the effort and energy you have expended and you are sore and tired from being hit hard so many times, but the dream is not realized, the one thing that tells you to keep going; to get up tomorrow and to keep moving forward, is your faith. Honor this and cherish it. Faith is what makes you human. It gives you energy and hope. And if you let it, your faith will deliver you to wherever you want to go in life.

Lirik Lagu Raisa Apalah (Arti Menunggu) Lyrics

telah lama aku bertahan
demi cinta wujudkan sebuah harapan
namun ku rasa cukup ku menunggu
semua rasa tlah hilang
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
sekarang aku tersadar
cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
namun ku rasa cukup ku menunggu
semua rasa tlah hilang
sekarang aku tersadar
cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
dahulu kaulah segalanya
dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
namun sekarang aku mengerti
tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang sama
sekarang aku tersadar
cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
sekarang aku tersadar
cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
 
S T O R Y and H I S T O R Y Blogger Template by Ipietoon Blogger Template